Thursday, May 14, 2020

Rifan Financindo | Daya Beli Turun, Kok Iuran BPJS Malah Naik Pak Jokowi?


Rifan Financindo - Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui daya beli masyarakat mengalami penurunan. Tercermin dari bahan pokok yang mengalami deflasi 0,13% yang dapat diartikan permintaan atas bahan pangan turun.

"Saya lihat laporan dari BPS bulan April bahan pangan justru mengalami deflasi sebesar 0,13%, ini ada indikasi penurunan permintaan bahan-bahan pangan artinya daya beli masyarakat menurun," tuturnya saat membuka rapat terbatas virtual, Rabu (13/5/2020).



Namun di hari yang sama Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk Kelas I dan II yang mulai berlaku 1 Juli 2020. Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, kebijakan itu malah semakin membuat daya beli menurun.

"Sebagian dari kelompok menengah juga terkena PHK atau tidak bisa buka usaha sehingga mengalami penurunan income. Kenaikan iuran BPJS bagi mereka akan menambah beban artinya semakin ada penurunan daya beli," kata Piter kepada detikcom, Rabu (13/5/2020).

Menurut Piter, pemerintah menganggap jika golongan BPJS Kesehatan I dan II merupakan kelompok menengah yang tidak mengalami penurunan daya beli, hal itu pun dirasa kurang tepat.

"Jadi pemerintah mengasumsikan kelompok menengah tidak mengalami penurunan daya beli, yang daya belinya turun hanya kelompok bawah. Jadi kebijakan pemerintah saya kira tidak tepat," ucapnya.

Piter menilai seharusnya pemerintah tidak menaikkan iuran untuk menutup defisit. Pihak BPJS Kesehatan diminta untuk melakukan efisiensi, baru kekurangannya ditutup oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Memang dilemanya kalau tidak dilakukan kenaikan akan membebani APBN, sementara APBN-nya dalam kondisi yang tertekan. Kalau menurut saya sekarang ini defisit BPJS lebih baik ditutup tidak dengan menaikkan iuran. BPJS diminta melakukan efisiensi, setelah itu seluruh defisit ditutup oleh APBN," urainya.


Baca Juga :

  • PT RIFAN FINANCINDO | Sosialisasi Perdagangan Berjangka Harus Lebih Agresif: Masih Butuh Political Will Pemerintah
  • PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA | Rifan Financindo Berjangka Gelar Sosialisasi Cerdas Berinvestasi
  • PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA SURABAYA | PT Rifan Financindo Berjangka Buka Workshop Apa Itu Perusahaan Pialang, Masyarakat Harus Tahu
  • RIFAN FINANCINDO | Kerja Sama dengan USU, Rifan Financindo Siapkan Investor Masa Depan
  • PT RIFAN | Bursa Berjangka Indonesia Belum Maksimal Dilirik Investor
  • RIFANFINANCINDO | Rifan Financindo Intensifkan Edukasi
  • RIFAN FINANCINDO BERJANGKA | Berburu keuntungan berlimpah melalui industri perdagangan berjangka komoditi
  • RIFAN | Rifan Financindo Optimistis Transaksi 500.000 Lot Tercapai
  • PT. RIFAN FINANCINDO BERJANGKA | Sharing & Diskusi Perusahaan Pialang Berjangka PT. RFB
  • PT. RIFAN | PT Rifan Financindo Berjangka Optimistis PBK Tetap Tumbuh di Medan
  • RIFAN BERJANGKA | Bisnis Investasi Perdagangan Berjangka Komoditi, Berpotensi tapi Perlu Kerja Keras
  • PT. RIFAN FINANCINDO | JFX, KBI dan Rifan Financindo Hadirkan Pusat Belajar Futures Trading di Kampus Universitas Sriwijaya
  • PT RIFANFINANCINDO | RFB Surabaya Bidik 250 Nasabah Baru hingga Akhir Tahun
  • PT RFB | PT RFB Gelar Media Workshop
  • PT RIFANFINANCINDO BERJANGKA | Mengenal Perdagangan Berjangka Komoditi, Begini Manfaat dan Cara Kenali Penipuan Berkedok PBK
  • RFB | RFB Masih Dipercaya, Transaksi Meningkat.


Kebijakan ini mendapat kritikan dari berbagai pihak. Klik halaman selanjutnya.

Warganet Merasa Kena Prank Jokowi


Peserta BPJS Kesehatan merasa jadi korban bercanda alias 'prank' Jokowi. Sebab, awalnya iuran BPJS Kesehatan dinaikkan olehnya, lalu dibatalkan Mahkamah Agung (MA), sekarang dinaikkan lagi oleh Jokowi.

Banyak netizen protes dan merasa emosi dengan kenaikan iuran tersebut. Bahkan ada juga yang masih belum percaya dengan keputusan pemerintah yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah krisis pandemi COVID-19.

Keluhan semacam itu terlihat di kolom komentar salah satu artikel berita detikcom yang berjudul 'Akui Daya Beli Masyarakat Turun Kok Malah Naikkan BPJS, Pak Jokowi?'. Di sana mayoritas pembaca mengeluhkan hal serupa.

"Pliss beneran kan ini cuman Prank ?," kata salah satu pembaca detikcom, Rabu (13/5/2020).

Ada juga yang merasa kecewa dengan Jokowi karena tega menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi krisis virus Corona (COVID-19).

"Anda telah melukai jutaan hati rakyat indonesia pak de ....," ucapnya.

Bahkan ada yang mengibaratkan pemerintah sedang naik roller coaster, sehingga dalam membuat kebijakan naik-turun.

"Apa pemerintah sedang bermain rolercoaster ya . . . . up and down ... up and down kebijakannya," herannya.

"Tdk punya empati, udh dibatalin MK yg membuat rakyat bs bernafas sedikit. Ini dicekik lagi," timpalnya.

BPJS Watch: Rakyat Sudah Susah, Disusahin Lagi

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai kenaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi akan semakin memberatkan rakyat. Sebab, banyak pekerja informal yang sangat sulit kondisi ekonominya.

"Per 1 Juli 2020 ini kelas I naik lagi jadi 150.000 per orang per bulan. Kelas II jadi 100.000. Kelas III di subsidi Rp 16.500 dan di 1 Januari 2021 naik jadi Rp 35.000 sehingga pemerintah hanya subsidi Rp 7.000. Rakyat sudah susah malah disusahin lagi," kata Timboel melalui keterangan resmi yang dikutip detikcom, Rabu (13/5/2020).

Di kondisi seperti ini harusnya pemerintah menjaga daya beli masyarakat bukan semakin membuatnya jatuh dengan menaikkan iuran ini. Pemerintah dinilai sudah kehabisan akal sehingga dengan seenaknya menaikkan iuran tanpa melihat kondisi.

"Pemerintah sudah kehabisan akal dan nalar sehingga dengan seenaknya menaikkan iuran tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat. Padahal di pasal 38 di Pepres ini menyatakan kenaikan iuran harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat," ucapnya.

Belum lagi layanan BPJS Kesehatan yang malah menurun selama masa COVID-19. Banyak kasus yang ia temui jika peserta tidak mendapatkan haknya, padahal harusnya ada perbaikan layanan sebelum iuran dinaikkan.

"Contoh yang banyak terjadi dan menjadi persoalan saat ini, seorang pasien JKN ketika harus dirawat inap harus melakukan test COVID-19 dan pasien diminta bayar Rp 750.000 untuk test COVID-19 tersebut. Padahal jelas di pasal 86 Perpres 82 tahun 2018 pasien JKN tidak boleh diminta biaya lagi. Ada pasien JKN yang karena tidak mampu bayar Rp 750.000 jadi pulang yang seharusnya dirawat di RS, si pasien meninggal di rumah," ungkapnya.

Jokowi Diminta Evaluasi Kinerja BPJS Kesehatan

Timboel meminta Jokowi untuk evaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan beserta yang terlibat dalam Jaminan Kesehatan (JKN). Hal itu menyusul adanya rencana iuran BPJS Kesehatan yang akan kembali dinaikkan.

"Presiden harus melakukan evaluasi kepada seluruh anak buahnya yang terkait JKN, terutama evaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan," kata Timboel melalui keterangan resmi yang dikutip detikcom, Rabu (13/5/2020).

Timboel menjelaskan soal Rencana Kegiatan dan Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan, yang mana pos penerimaan menjadi Rp 135 triliun. Belum lagi ditambah pendapatan dari pajak rokok yang bisa mencapai Rp 5 triliun jika Pemerintah Daerah membayar pajak rokok sesuai Pasal 99 dan 100 Perpres No. 82 tahun 2018.

Sedangkan beban biaya dinilai masih lebih rendah daripada penerimaan. Harusnya tahun 2020 bisa surplus Rp 1,7 triliun.

"Tahun lalu beban biaya Rp 108 triliun. Kalau pun naik 10% di 2020 maka beban biaya jadi Rp 118,8 triliun. Ditambah utang BPJS ke RS-RS di 2019 yaitu Rp 15 triliun. Jadi total Rp 133,8 triliun. Ini ditambah biaya operasional BPJS Kesehatan sekitar Rp 5 triliun. Dari analisa biaya ini saja seharusnya BPJS bisa surplus di 2020 sebesar Rp 1,7 triliun," urainya.

"Itu pun surplus bisa lebih besar bila BPJS mau serius mengawasi fraud di RS, dan mengawasi puskesmas dan klinik yang suka merujuk pasien ke RS sehingga biaya muncul di RS," tambahnya.

Daripada menaikkan iuran, pihak BPJS Kesehatan lebih baik tagih utang iuran dari peserta yang satu bulannya bisa mencapai Rp 3,4 triliun. Selain itu, Kementerian Keuangan juga diminta tegas kepada Pemerintah Daerah yang tak setorkan pajak rokoknya kepada BPJS Kesehatan.

"Saya kira kalau itu dijalanin tahun ini DJS JKN bisa surplus dan tidak harus dinaikkan iurannya," ucapnya.

Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang baru diteken Jokowi juga dinilai bertentangan dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU BPJS Kesehatan. Di mana seharusnya pemerintah hanya bayar iuran rakyat miskin, tapi di perpres 64 peserta mandiri kelas III yang mampu juga disubsudi oleh pemerintah.

"Kelas III mandiri itu juga dihuni oleh orang mampu. Orang mampu di kelas II dan kelas I sudah banyak yang turun ke kelas III ketika Pepres 75 tahun 2019 dirilis," ujarnya.

Seharusnya pemerintah melakukan pembenahan data Penerima Bantuan Iuran (PBI). Jika penghuni kelas III mandiri benar kelompok miskin, masukkanlah ke PBI. Sedangkan yang mampu biarkan bayar sendiri tanpa subsidi. ( Mbs-Rifan-Financindo-Berjangka )

Lihat : Rifan Financindo

Sumber : finance.detik

0 comments:

Post a Comment